Berkuliah ke luar negeri, hal yang tak
pernah terbayangkan olehku sebelumnya. Sebuah mimpi yang ternyata dikabulkan
oleh Sang Pencipta. Namaku Cynthia Utami, anak pertama dari lima orang
bersaudara. Takdir yang baik mengantarkanku ke Jerman. Salah satu negara
dambaan setiapa student yang ingin melanjutkan program studinya.
Kenapa banyak orang yang ingin berkuliah
ke Jerman? Apakah Jerman
memang seindah itu, tempat menjanjikan untuk kehidupan di masa depan? Tapi
ternyata banyak hal yang tidak kita tahu.
Bukan hanya
mereka yang pintar yang bisa bertahan disini. Kepintaran saja
tidaklah cukup untuk berkuliah disini. Banyak rintangan yang harus kita lalui
sebelum mendapatkan titel mahasiswa. Setelah menjadi mahasiswa itulah awal
perjuangan kita yang sesungguhnya.
Setelah tamat
SMA aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke Jerman. Dua bulan sebelum
keberangkatan aku mengikuti program intensiv kursus bahasa Jerman. Syarat visa
yang mengharuskan ku mempunyai kemampuan bahasa minimal A1.
Awal September
2013, untuk pertama kalinya aku menginjakan kakiku di Eropa, dan itu di Jerman.
Rasanya masih seperti mimpi. Tapi mulai saat itu, Jerman telah menjadi duniaku.
Tiga bulan
lamanya aku melanjutkan kursus bahasa di Aachen. Salah satu kota yang mungkin
telah banyak dikenal banyak orang di Indonesia kerena bapak Habibie. Benar
sekali, kota dimana beliau berkuliah. Setelah mendapatkan bukti kalau aku sudah
belajar bahasa Jerman hingga level B1, aku beranikan diri untuk mendaftar
Studienkolleg untuk Sommersemester (semester musim panas).
Studienkolleg
yang mungkin kita kenal dengan pra kuliah atau sekolah penyetaraan adalah hal
wajib yang dilakukan oleh mahasiswa asing. Disini kita belajar selama satu
tahun sesuai dengan arah jurusan kita nantinya. Terdapat T-Kurs (untuk bidang
teknik), M-Kurs (untuk bidang kedokteran), G-Kurs (untuk seni, politik, hukum)
dan W-Kurs (untuk bisnis, ekonomi).
Sebelum masuk
Studienkolleg, kita harus mengikuti ujian penerimaan dulu. Sayangnya cuma
sedikit Studienkolleg negeri yang ada di Jerman dan letaknya kebanyakan bukan
di kota besar. Karena jumlah pendaftar yang tak sebanding dengan kuota yang
diberikan, maka persaingan juga semakin ketat. Bahkan teman kita sendiripun
adalah saingan kita.
Dari lima
lamaran yang aku kirim ke setiap Studienkolleg yang buka di Sommersemester,
hanya satu undangan test yang aku dapatkan. Kala itu aku hanya bisa berdoa
sebanyak-banyaknya, karena aku tau peluang untuk masuk hanyalah sedikit.
Kenapa? Mereka hanya menawarkan satu kelas per kursus dan untuk tiap kelasnya
hanya bisa diisi dengan enam orang mahasiswa Indonesia. Saat
itu mungkin ada ratusan peserta ujian dan peserta terbanyak berasal dari
Indonesia. Terbayang sendirik bukan bagaimana sulitnya itu?
Tak lama setelah ujian, dalam selang
waktu tiga hari, pengumuman siapa yang lulus pun tercantum di website resmi
Studienkolleg tersebut. Saat
itu aku hanya mendapatkan kursi di Vorkurs. Aku harus belajar bahasa Jerman
dulu selama satu semester sebelum masuk T-Kurs, karena dari awal ke Jerman aku
berkeinginan untuk kuliah teknik dengan jurusan design pesawat, jurusan yang
berhubungan dengan pesawatlah.
Di Vorkurs ini
aku harus lulus dengan nilai yang telah ditetapkan supaya aku tidak perlu
mengikuti test penerimaan lagi. Sayangnya aku terbentur di matematika. Nilaiku
kurang sedikit lagi. Aku sudah mendaftar ke Studienkolleg di kota lain, tetapi
sayangnya belum bertakdir baik. Dengan keinginan kuat untuk tetap berkuliah
disini, aku putuskan untuk pindah jurusan yang tidak ada matematikanya supaya
aman. Akhirnya aku pindah ke G-Kurs yang nantinya aku akan berkuliah di jurusan
media dan komunikasi.
Setelah satu
tahun belajar di Studienkolleg Halle dan lulus ujian akhir, saya mendaftar ke
10 universitas yang ada di Jerman. Dari 10 lamaran, ada 6 undangan yang saya
dapatkan. Setelah itu saya putuskan untuk kuliah di kota Augsburg dengan
jurusan media dan komunikasi.
Semuanya
mungkin terlihat lancar saja, tapi semua itu tak semudah membalikan telapak
tangan. Banyak hal silih berganti yang bisa saja mengurangi semangat kita.
Semua urusan
kita urus sendiri. Tentu saja sendiri, namanya juga tinggal sendiri tanpa
keluarga, tanpa ibu dan ayah yang selama ini selalu ada untuk kita. Mulai dari
mengerjakan pekerjaan rumah sendiri seperti memasak, menyuci, belanja bahan
makanan dan kebutuhan sehari-hari, pengurusan izin tinggal ke kantor imigrasi,
mencari rumah, pindahan dan tentunya permasalahan visa.
Bagi kami
mahasiswa luar, visa adalah ancaman terbesar, bisa dibilang lanjut atau
tidaknya kita di Jerman bisa bergantung pada orang imigrasi. Tidak cukup
syarat, bisa saja kita dipulangkan ke kampung halaman.
Belum lagi
dengan masalah financial. Sebagai mahasiswa aku telah banyak melakukan
pekerjaan paruh waktu. Ini semua aku lakukan untuk bisa tetap bertahan disini.
Ternyata untuk bisa bekerja disini juga tidaklah gampang. Awalnya aku akui
kalau gengsi sempat hadir, tapi lama kelamaan aku berpikir untuk apa seperti
itu. Disini hal biasa kok mahasiswa bekerja.
Saking
susahnya untuk mendapatkan pekerjaan, aku rela melakukan apa saja asalkan itu
halal. Aku pernah bekerja di pabrik coklat, pabrik biskuit, pabrik makanan
pesawat, lopel koran bahkan office girl sekalipun. Dengan gaji yang aku
dapatkan, aku bisa tetap bertahan disini walau tanpa kiriman dari orangtua ku
lagi.
Kini Jerman
telah menjadi dunia baruku. Banyak hal yang dia ajarkan padaku. Mulai dari
urusan dunia hingga akhiratku. Disini aku lebih mengenal agamaku, lebih mencari
tau agamaku dan lebih menyadarkanku.
Kita merasa
kehilangan disaat kita telah jauh darinya. Aku lebih menghargai setiap waktu
dan pertemuan, karena disini aku merasa rugi kenapa dulu aku tidak menghabiskan
banyak waktuku dengan keluarga. Aku lebih mencari Islam karena disini dia
sangat langka. Aku lebih menghargai uang, karena sekarang aku tau betapa
sulitnya kedua orangtua ku bekerja untuk membahagiakan aku dan saudaraku.
Jika orang
bertanya apakah aku menyesal kuliah di Jerman, maka dengan pedenya aku menjawab
tidak. Walaupun aku lebih banyak membutuhkan waktu untuk lulus, telat dari
teman-teman di Indonesia, tapi aku mendapatkan pelajaran hidup berharga yang
bisa saja tidak aku dapatkan jika aku tidak merantau.