Sejak SMA aku suka "pergi ke alam". Entah itu pergi ke gunung, goa atau hanya sekadar menginap di hutan. Tergabung dalam ekskul Sispala Rinjani membuatku lebih banyak mengenal sisi lain dunia. Sebelumnya mungkin lebih sering ke tempat wisata yang mainstream atau hanya sekadar ke tepian pantai, nongkrong di tempat makan. Tetapi semenjak bergabung dengan organisasi sispala - Siswa Pecinta Alam - aku lebih suka untuk pergi menyusuri hutan bersama "keluarga" baru.
Setelah lulus SMA aku melanjutkan kuliah ke Jerman. Semenjak itulah kaki ini tidak pernah lagi menapak ke alam terlebih ke hutan. Hingga di tahun ke-3 hidup di Jerman, aku berkenalan dengan seorang mahasiswi Indonesia yang berkuliah di kampus yang sama denganku. Betapa senangnya karena dia ternyata juga suka dan sering mendaki gunung selama di Jerman.
Suatu hari, saat itu siang, tiba-tiba dia menelpon dan mengajakku untuk ikut dengannya ke Swiss. Tanpa pikir panjang aku mengiyakan ajakannya karena ini adalah ajakan untuk mendaki gunung. I was so excited. Ini perjalanan yang super dadakan. Saat itu dia menelepon di hari Jumat sedangkan kami akan berangkat di hari Sabtu. Tabungan untuk berangkat cukup dan tinggal packing ransel.
Bahagia tiada habisnya membayangkan besok kaki ini berada di puncak gunung kembali, mencium aroma dedaunan dan menikmati ciptaan Tuhan yang sangat mempesona. Sungguh aku sangat merindukan moment tersebut. Terbayang olehku betapa indahnya masa SMA dulu saat aku bersama yang lainnya melakukan pendakian. Perlahan kami melangkah, bersenda gurau di depan tenda menghangatkan badan di sekitaran api unggun, makan bersama dengan masakan yang terhidang di atas plastik, mencium aroma tanah dan dedaunan yang dibasahi embun.
Walaupun bukan hal serupa seperti pendakian zaman SMA, tetapi setidaknya pendakianku kali ini di Swiss akan menjadi awal pendakianku di tanah Eropa.
Beginilah awal perjalananku...
Gunung Pilatus merupakan salah satu destinasi wisata yang wajib dikunjungi jika kita pergi ke Lucerne, Swiss. Lucerne adalah salah satu kota yang cantik dan ramai dikunjungi turis. Kota ini terletak di dekat danau Lucerne dan peninggalan terkenalnya adalah Kapellbrücke (Jembatan Kayu) dari abad ke-14.
Gunung Pilatus yang merupakan rangkaian dari Pegunungan Alpen memiliki beberapa puncak. Dua diantaranya adalah Puncak Tomlishorn (2.128 mdpl) dan Puncak Esel (2.119 mdpl). Sayangnya di pendakian kali ini aku hanya bisa sampai di Puncak Esel.
Semalam sebelum pendakian, aku bersama Mesya - temanku - menginap di rumah Mas Krisna yang terletak di kaki Gunung Pilatus. Mesya mengenal beliau dari salah satu forum backpacker dunia saat dia di tahun-tahun sebelumnya berlibur di Swiss. Semenjak saat itu mereka berkomunikasi baik dan hingga saat kami ke Lucerne, kami berdua diizinkan untuk menginap di rumahnya.
Kalian lihat puncak gunung yang putih itu? Itulah Gunung Pilatus |
Kami sampai sore hari di Lucerne. Sebelumnya kami menikmati beberapa jam di Zurich sebelum esok melakukan pendakian di Lucerne. Tidak banyak yang bisa kami nikmati hari itu di Zurich karena keterbatasan waktu yang kami miliki.
Foto di atas diambil saat berjalan kaki menuju rumah Mas Krisna, tempat kami menginap beberapa hari ke depan. Rumah yang terletak tepat di kaki Gunung Pilatus. Seperti biasa, setiap pendaki pasti pernah merasakan hal ini. Saat aku berhenti dan melihat puncak Gunung Pilatus yang menjulang tinggi, rasanya seperti tidak mungkin, dalam sehari bisa didaki dan balik lagi ke rumah. Tetapi semangat tetap membara. Kaki ini harus berada di atas sana.
Keesokan harinya, setelah sarapan pagi kami mulai melakukan pendakian. Hari itu matahari terik sekali karena memang sedang musim panas. Kami dibekali sandwich dan beberapa cemilan. Mas Krisna juga memberikan dua peta yang bisa kami gunakan selama perjalanan nanti. Sebenarnya ada kereta gantung yang bisa sampai ke puncak. Tetapi kali ini tujuan kami memang untuk mendaki bukan hanya sekadar liburan. Kami memutuskan untuk mendaki dari bawah tanpa menggunakan kereta. Selain kereta gantung juga ada kereta biasa sebagai transportasi andalan untuk turis yang ingin ke puncak Gunung Pilatus.
Pilih mana? Jalan kaki alias mendaki atau naik kereta gantung? |
Semakin siang semakin panas. Terasa mulai capek padahal masih di ketinggian yang belum seberapa Maklum saja sudah berapa tahun tidak mendaki.
wajah sok semangat padahal aslinya lelah pakai banget |
Topografi yang kami lewati semakin lama semakin berubah. Mulai dari rerumputan biasa, kemudian dipenuhi pepohonan hingga semakin ke atas semakin banyak dipenuhi dengan bebatuan.
Ada banyak jalur pendakian yang bisa kita pilih. Di peta juga diterangkan tingkat kesulitan tiap jalurnya. Ada yang mudah, menengah dan sulit. Pendakian kali ini, kami begitu menghindari medan yang terjal dan sulit.
Semakin tinggi kami semakin memasuki hutan. Pepohonan dan tebing-tebing batu mulai tampak jelas menjulang tinggi.
Selama perjalanan kalian juga harus berhati-hati dengan pagar kawat yang terpasang di pinggir jalan karena pagar tersebut dialiri arus listrik. Menurutku itu untuk sapi-sapi yang ada di sana yang kami temui. Selain kandang sapi, kami juga melewati air terjun kecil dengan medan jalan yang sangat terjal. Untungnya sudah ada rantai-rantai yang terpasang erat dan bisa digunakan untuk berpegangan. Mataku terus fokus ke depan, berpegang erat pada rantai-rantai karena jalannya berbatuan dan sangat terjal.
Tidak lama setelah itu kami bertemu dengan seorang bapak yang ternyata juga suka mendaki. Beliau sangat kuat bahkan mengalahiku yang masih muda ini. Saat istirahat sejenak aku sempatkan berfoto dengannya sambil memegang bendera merah putih.
Sebelum mencapai puncak kami disambut oleh sekawanan kambing. Enggak disangka ternyata kambing-kambing ini bisa juga mendaki mencapai puncak gunung. Moment langka yang tidak aku temu sebelumnya. Kami putuskan untuk mengambil beberapa foto bersama mereka.
Perjalanan sampai ke puncak menghabiskan waktu kurang lebih 6 jam. Kemudian 1 jam berikutnya kami habiskan untuk istirahat dan berfoto menikmati keindahan alam. Dari atas puncak tampak jejeran pegunungan dan bahkan ada yang putih-putih bersalju. Birunya danau dan langit yang cerah menambah indahnya.
Hari semakin siang dan kami bergegas kembali turun. Untungnya masih musim panas dan matahari telat tenggelam. Langit masih terang dan perjalanan pulang ke rumah dimulai.
Ini adalah pertama kalinya aku mendaki gunung dan turun gunung di hari yang sama. Kebayangkan capeknya gimana? Untuk pulang ke rumah kami mengambil rute yang berbeda. Mengingat jika dengan rute yang sama akan kesulitan menuruni jalanan terjal sebelumnya, apalagi jika langit sudah mulai gelap.
Perjalanan pulang yang gelap dan tanpa senter...
Benar saja, wajah lelah yang tidak bisa ditutupi. Mau fotopun sudah tidak semangat. Pikiranku saat itu hanya tertuju bagaimanapun caranya harus segera sampai di bawah. Langit mulai gelap dan kami masih berada di ketinggian. Ditambah lagi perlengkapan yang tidak memadai. Aku baru sadar kalau tidak ada satupun di antara kami yang membawa senter. Keadaan super parah hanya dengan mengandalkan senter dari HP.
Saat memasuki hutan kondisi semakin gelap. Tiba-tiba ada suara binatang yang berlari dan sontak membuat kaget. Kami benar-benar bingung harus melakukan apa. Muncul ketakutan kalau misalnya tadi itu binatang buas. Sepi dan tidak ada pendaki lain. Untungnya tidak lama setelah datanglah seorang pendaki laki-laki yang juga melangkah turun. Akhirnya dengan pertolongannya kami turun bersamaan.
Langkah kakinya yang begitu cepat bahkan berlari kecil. Saat itu rasanya kaki sudah tidak seperti kaki lagi. Aku pasrah melangkahkan kaki ini untuk tetap turun, mengikuti entah kemana dia melangkah. Gelap dan untungnya si pendaki itu meminjamkan head lamp.
Aku bersyukur bisa bertemu dengannya. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi. Bisa-bisa kami tidak tiba di rumah Mas Krisna malam itu juga. Sedang di rumah, Mas Krisna sangat khawatir karena sudah larut malam dan tidak ada kabarpun dari kami.
Saat sampai di rumah ternyata Mas Krisna sudah siap-siap hendak menelpon polisi jika kami tidak kunjung sampai. Untungnya kami sampai di rumah sebelum polisi ditelpon.
Pelajaran berharga...
Akhirnya badan bisa direbahkan di atas kasur. Sesampai di rumah Mas Krisna, kami langsung istirahat. Badan ini sungguh capek. Sambil tiduran aku masih tidak menyangka bisa melewati semuanya. Mendaki dan turun gunung hanya sehari dengan total waktu 13 jam. Itu semua mungkin akan lebih jika kami tidak bertemu dengan pendaki saat menuruni gunung.
Pelajaran berharga dari pendakian ini jangan pernah lengah dengan perlengkapan untuk mendaki. Jangan asal mendaki karena kita tidak tahu bagaimana medannya dan kemungkinan-kemungkinan buruk bisa saja terjadi. Seperti perjalanan kami ini contohnya, rencana awal akan sampai di bawah saat langit masih terang. Tetapi semua di luar rencana.
Allah masih melindungi kami hingga detik ini. Dia mengirimkan pendaki itu agar bisa bersama menuruni gunung. Kalau bukan karena dia, mungkin kami semakin lama terjebak di tengah hutan. Apalagi malam begitu dengan senter HP dan tanpa perlengkapan untuk menginap.
Jika kalian juga mendaki ke sana dan merasa kalau waktu yang kalian punya tidak cukup untuk turun, alangkah baiknya turun dengan kereta saja.
mungkin lain kali bisa dicoba naik ini |
Begitulah pengalaman perdanaku mendaki gunung di Eropa. Mana tahu setelah ini ada yang mau ngajakin untuk mendaki lagi :)) Oiya bedanya pendakian kali ini, kalau di Padang saat aku mendaki, jalur pendakiannya kadang tidak begitu jelas, sedangkan jalur kali ini terlihat sangat jelas.